Perdagangan bebas bukan solusi yang tepat meningkatkan kesejahteraan umat manusia, karena faktanya lebih menjurus kepada proses eksploitasi dan eksplorasi sumber daya suatu negara dengan cara berlindung kepada efisiensi dan produktifitas sebagai acuan utamanya.
Regulasi internasional yang berlindung di bawah panji-panji World Trade Organization (WTO), hakekatnya adalah sebuah upaya yang akan selalu menguntungkan negara-negara kapitalis. Tujuannya, agar tetap dapat dengan mudah mengakses sumber daya dan kemudian mendapat peluang mengekploitasi dan mengekplorasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh negara mitra dagangnya untuk kepentingan diri sendiri.
Perdagangan bebas yang berlangsung dewasa ini, patut dipertimbangkan untuk dikoreksi. Landasan filosofisnya, jangan lagi bebas atau free karena dapat menjurus kepada paradigma, “siapa yang kuat dia yang menang”. Manusia sebagai homo economicus akan berpotensi berperilaku seperti “binatang”, tatkala sebutan bebas menjadi landasan filosofisnya.
Landasan filosofis yan harus menjadi acuan adalah bahwa kerjasama ekonomi harus dibangun berdasarkan konsep kemitraan pembagian kerja internasional, aliansi strategi, menjamin kelancaran arus barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan bersama, menjunjung tinggi nilai budaya masing-masing negara dan lingkungan.
Kenapa harus demikian? Karena fitra manusia manapun, akan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama untuk dapat saling membantu dan mencukupi kebutuhan hidupnya (pangan, sandang, energi, pendidikan dan lain-lain), bukan untuk saling mengekploitasi dan mengeksplorasi, bahkan saling mematikan.
Jadi kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi, jangan lagi dibangun atas dasar faham bebas atau free market, akan tetapi atas dasar market friendly dengan pengertian saling berteman, bekerjasama untuk saling bekerja bersama dan menjamin kelancaran arus barang dan jasa yang saling diperlukan untuk kesejahteraan bersama.
Oleh karena itu, kata bebas seyogyanya tidak dikaitkan langsung dengan persoalan perdagangan, karena secara psycho social dapat berkonotasi “a sosial” yang kurang dapat menghargai kepentingan orang lain sehingga ketika rezim perdagangan bebas dijadikan sebuah policy dan menimbulkan masalah ketidakseimbangan, akan dapat berpotensi mendatangkan semacam penentangan, bahkan perlawanan. Padahal, dunia saat ini sedang mendambakan perdamaian, kesetaraan dan kebersamaan.
Istilah bebas dan kebebasan, lebih tepat dipakai dalam konteks agar setiap individu/masyarakat dapat membangun kapasitas dirinya dalam berfikir dan bertindak lebih kreatif, inovatif dan penuh kearifan. Karenanya tidak tepat isitilah itu dipakai dalam konteks interaksi di bidang perdagangan yang nota bene hanya berorientasi profit dan kapitalisasi, serta hampir tidak pernah berorientasi kepada kesejahteraan bersama.
Para penganut rezim perdagangan bebas tidak akan pernah berfikir membangun kesejahteraan sebagai sebuah tujuan, tetapi hanya memandang sebagai sebuah dampak atau impact akibat diberlakukannya perdagangan bebas. Karena itu, konsepsi dan landasan yang dianut, sepatutnya direkonstruksi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar